Beranda | Artikel
Menepis Syubhat Pembela Tawassul Yang Haram (bag. 4)
Jumat, 6 Juni 2014

Syubhat 11. Hadits:

إذا سألتم الله فسلوه بجاهي فإن جاهي عند الله عظيم

“Apabila kamu memohon kepada Allah, maka mintalah dengan melalui kedudukanku, karena kedudukanku di sisi Allah agung”.

Jawab:

Hadits ini batil tidak ada asalnya, karena tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab hadits manapun.

Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah Rahimahullah berkata: “Sebagian orang bodoh meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah melalui kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah adalah agung”. Hadits ini adalah dusta, tidak ditemukan dalam kitab-kitab kaum muslimin yang menjadi sandaran ahli hadits, tidak pula disebutkan oleh para ulama hadits seorangpun.

Dan kedudukan Rasulullah di sisi Allah paling agung dibandingkan kedudukan seluruh nabi dan rasul.. beliau pelaku syafa’at pada hari kiamat disaat Nabi Adam dan ulu ‘azmi tidak sanggup melakukannya, beliau adalah pemuka anak Adam, dan imam para Nabi.

Namun kedudukan makhluk di sisi Khaliq tidak sama dengan kedudukan makhluk di sisi makhluk, karena tidak ada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah kecuali dengan idzinNya.. adapun makhluk, ia memberi syafa’at di sisi makhluk walaupun tanpa idzinnya, sehingga ia menjadi sekutu baginya untuk meraih yang diinginkan, sedangkan Allah tidak ada sekutu bagiNya. FirmanNya yang artinnya:

22. Katakanlah: ” serulah mereka yang kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.

23. Dan Tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu..(Saba : 22-23).[1]

Syaikhul islam juga berkata: “Dan yang diriwayatkan oleh sebagian orang awam: “Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah melalui kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah adalah agung”. Hadits ini adalah dusta dan palsu, tidak ada seorangpun ahli ilmu yang meriwayatkannya, tidak juga ada dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan sandaran dalam agama. Jikalau mayat itu mempunyai keutamaan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam adalah orang yang paling berhak untuk mendapat semua keutamaan, dan para shahabatnya setelahnya. Kalaulah orang yang hidup dapat mengambil manfaat dari orang yang telah mati, maka para shahabat adalah orang yang paling berhak mendapat manfaat dari Nabi baik masih hidup maupun telah mati, sehingga dapat diketahui bahwa pendapat tersebut adalah sesat, walaupun sebagian syuyukh ada yang berpendapat demikian, namun itu adalah sebuah kesalahan, dan Allah akan mengampuni dosa mujtahid yang salah, dan ia bukan Nabi yang wajib diikuti pendapatnya, tidak juga ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dalam perintah dan larangannya, sedangkan Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(An Nisaa : 59).[2]

Syubhat 12. Kabar:

إذا أعيتكم الأمور فعليكم بأصحاب القبور

“Apabila kamu ditimpa urusan yang payah maka hendaklah datang ke penghuni kubur”.

Jawab:

Khabar ini disebutkan oleh Al ‘Ajluuni dalam Kasyful khofaa (1/85) dan beliau menisbatkannya kepada kitab Al Arba’in karya ibnu kamal Basya, dan khabar ini batil tidak ada asalnya, tidak pernah diriwayatkan oleh para ulama hadits dalam kitab-kitab yang dapat dijadikan sandaran.

Syaikhul islam Ahmad bin Taimiyah rahimahullah berkata: “Sebagian orang dari masyayikh yang diikuti ada yang berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila kamu ditimpa urusan yang payah maka hendaklah datang ke penghuni kubur”. Dalam riwayat lain: “Hendaklah minta bantuan kepada penghuni kubur”. Padahal hadits ini dusta dan dipalsukan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ijma’ (kesepakatan) orang-orang yang memahami hadits, dan tidak ada seorang ulamapun yang meriwayatkannya, dan tidak ditemukan dalam kitab hadits manapun yang dijadikan sandaran”.[3]

Syubhat 13: Hadits Bilal bin Al Harts yang beristisqa setelah wafatnya rasulullah.

روى البيهقي وابن أبي شيبة :أن الناس أصابهم قحط في خلافة عمر ( فجاء بلال بن الحرث وكان من أصحاب النبي إلى قبر النبي وقال يا رسول الله : استسق لأمتك فإنهم هلكوا فأتاه رسول الله في المنام وأخبره أنهم سيسقون .

Al Baihaqi dan ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa manusia di zaman kekhilafahan Umar di timpa kekeringan, maka Bilal bin Al Harits salah seorang shahabat Nabi datang ke kuburan Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, karena mereka telah binasa”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya dalam tidurnya dan mengabarkan bahwa mereka akan diberikan hujan”.

Jawab:

Kabar ini diriwayatkan dari jalan Abu Mu’awiyah dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Malik Ad Daar bahwa ia berkata: “Kekeringan melanda manusia di zaman Umar, lalu datanglah seseorang ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa”. Lalu orang itu didatangi di dalam tidurnya dan dikatakan kepadanya: “Datanglah kepada Umar dan sampaikan salam untuknya dan kabarkan kepadanya bahwa kalian akan diberikan hujan, dan katakan kepadanya: “Hendaklah kamu menggunakan aqal dan kedermawanan”. Lalu Umar dikabarkan, dan beliau berkata: “Ya Rabb, Aku terus berusaha kecuali yang aku tidak mampu”.

Berdalil dengan kisah ini untuk memperbolehkan tawassul kepada orang shalih yang telah mati atau berdo’a kepada mayat adalah tidak benar dari beberapa sisi:

Pertama: Orang yang datang ke kuburan Nabi tersebut adalah majhul (tidak diketahui siapa ia), adapun perkataan Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul baari bahwa ia bernama Bilaal bin Al Harits sebagaimana dalam riwayat Saif bin Umar adalah tertolak, karena Saif bin Umar ini disepakati oleh para ulama hadits kelemahannya, bahkan ibnu Hibban berkata: “Ia suka meriwayat hadits-hadits maudlu’ (palsu) dari perawi yang tsiqat, dan mereka berkata bahwa ia suka memalsukan hadits, bahkan ibnu Hibban dan Al Hakim menuduhnya zindiq[4].

Bila ada yang berkata: “Akan tetapi Saif bin Umar dapat dipercaya periwayatannya dalam tarikh, sebagaimana yang dikatakan oleh Adz Dzahabi: “Ia (Saif) sama dengan Al Waqidi”. Yaitu dapat dipercaya dalam sejarah, dan itu juga yang dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam dalam taqribnya, beliau berkata: “Dla’if dalam hadits dan umdah (sandaran) dalam tarikh (sejarah)”. Dan penyebutan nama adalah termasuk sejarah.

Dijawab: Bahwa Al Hafidz tidak menyebutkan dari siapa Saif meriwayatkan riwayat tersebut, terlebih Saif bin Umar meriwayatkan dari perawi-perawi yang banyak yang majhul sebagaimana dikatakan oleh Adz Dzahabi dalam Mizannya, sehingga inipun tidak dapat dijadikan sandaran, dan tidak dapat memberi kepastian tentang siapa nama laki-laki yang datang ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua: Bila memang yang melakukannya adalah Bilal bin Al Harits, maka perbuatan beliau ini bertentangan dengan perbuatan para shahabat lainnya, karena Umar dan para shahabat tidak datang ke kuburan Rasulullah, namun datang kepada Al ‘Abbas bin Abdil Muthalib dan menyuruhnya agar berdo’a kepada Allah Ta’ala. Dan perbuatan seorang shahabat bila bertentangan dengan perbuatan shahabat lainnya tidak dapat dijadikan hujjah, bagaimana bila bertentangan dengan dalil?!

Bila dikatakan: Di dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa ia menceritakannya kepada Umar, dan ternyata Umar tidak mengingkarinya.

Dijawab: Bahwa yang ia ceritakan adalah perihal mimpinya bertemu Rasulullah, dan bukan perihal datangnya ia ke kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, buktinya umar hanya mengomentari perkataan Rasulullah dalam mimpi tersebut. Dan kalaulah datang ke kuburan Rasulullah untuk memohon do’a Rasulullah diperbolehkan, tentu para shahabat akan datang ke kuburan Rasulullah dalam perkara-perkara yang lebih besar dari itu, seperti peperangan yang terjadi diantara para shahabat dan kejadian-kejadian lainnya.

Ketiga: Malik Ad Daar perawi dalam kisah itu adalah majhul hal yaitu perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih dan tidak ada yang mentsiqahkan tidak juga menjarhnya, dan periwayatan majhul hal adalah tertolak.

Bila dikatakan: Akan tetapi disebutkan dalam riwayat lain bahwa Malik Ad Daar ini Bendahara Umar, dan tidak mungkin Umar mengangkat seseorang sebagai bendahara kecuali orang yang ‘adil dan dapat dipercaya.

Dijawab bahwa seorang yang dipercaya sebagai bendahara belum tentu dipercaya dalam periwayatan hadits, karena berbeda antara dua perkara tersebut, sebagaimana banyak perawi-perawi yang dipercaya menjadi qadli, namun dalam periwayatan haditsnya tertolak, sehingga alasan seperti ini adalah lemah dan tidak dapat diterima.

Keempat: kalaupun misalnya kisah ini shahih, maka tidak dapat dijadikan hujjah, karena perbuatan shahabat yang bertentangan dengan shahabat bahkan mayoritas shahabat adalah bukan hujjah, bagaimana bila bertentangan dengan dalil? Sebagaimana telah kita sebutkan, oleh karena itu imam Al Bukhari dalam Tarikhnya hanya mengeluarkan perkataan Umar saja: “Ya Rabb, Aku terus berusaha kecuali yang aku tidak mampu”. Dan tidak menyebutkan kisah tersebut, seakan kisah tersebut tidak sah di sisi beliau. Wallahu a’lam.

Al Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قُحِطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ : اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا -صلى الله عليه وسلم- فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ الْيَوْمَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا -صلى الله عليه وسلم- فَاسْقِنَا فَيُسْقَوْنَ.

Sesungguhnya Umar bin Al Khathab apabila di landa kekeringan beristisqa melalui Al Abbas bin Abdul Muthalib dan berkata: “Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepadaMu melalui NabiMu, dan Engkaupun memberi kami hujan, dan sekarang aku bertawassul kepadaMu melalui paman NabiMu, maka berikanlah kami hujan”. Lalu merekapun di beri hujan.

Riwayat ini menegaskan bahwa para shahabat tidak datang ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta diturunkan hujan, namun mereka pergi kepada Al ‘Abbas dan menyuruhnya berdo’a agar Allah menurunkan hujan, dan ini adalah tawassul yang disyari’atkan.


Artikel asli: https://cintasunnah.com/menepis-syubhat-pembela-tawassul-yang-haram-bag-4/